Catatan Laksamana Cheng Ho atas Kemukjizatan Dewi Mazu
InHua.Net – Dewi Mazu termahsyur sebagai dewi pelindung samudera, terutama di pesisir selatan Tiongkok dan Asia Tenggara. Tradisi pemujaan kepada Dewi Suci, yang juga diagungkan dengan gelar Tian Shang Sheng Mu, Tian Fei, Tian Hou dan nama suci lainnya, berkembang sejak Dinasti Song hingga dewasa ini.
Beredar banyak kisah tentang kedigdayaan Dewi Mazu di masyarakat, terutama di kalangan nelayan dan pelaut, atau mereka yang bermatapencaharian di sektor maritim. Bahkan, penjelajah lengendaris Laksamana Cheng Ho dan para pembantu ekspeditornya juga memberi kesaksian atas kesaktian Dewi Mazu dengan mendirikan sebuah prasasti peringatan.
Prasasti Bersejarah
Prasasti “Catatan Kemukjizatan Permaisuri Surgawi”, umumnya disebut “Prasasti Cheng Ho”, didirikan pada tahun keenam Xuande Dinasti Ming (1431 M).
Piagam bersejarah ini dibangun Laksamana Cheng Ho sebelum melakukan misi ekspedisi ketujuhnya bersama Wang Jinghong, Li Xing, Zhu Liang dan pembantu lainnya. Pada awalnya prasasti ini diletakkan di Kelenteng Istana Gunung Selatan (Nanshan Gong), di kawasan Changle, Kota Fuzhou.
Monumen ini terbuat dari batu serpih hitam, dengan tinggi 1,62 meter, lebar 0,78 meter, dan tebal 0,16 meter.
Bagian atas prasasti terpatri enam karakter “Tian Fei Ling Ying Zhi Ji”, yang secara harfiah bisa diterjemahkan menjadi catatan atau peringatan atas kemukjizatan Permaisuri Surgawi.
Pinggiran prasasti terdapat ukiran teratai. Teks terdiri 31 kolom, paragraf pertama terdiri atas 68 aksara Tionghoa, total 1.177 aksara.
Prasasti tersebut mencatat pertualan monumental armada ekspedisi Laksamana Cheng Ho, dari tahun ketiga Kaisar Yongle Dinasti Ming hingga tahun keenam Kaisar Xuande (1405-1431 M). Prasasti ini adalah catatan berharga tentang sejarah 7 kali ekspedisi ke Asia Tenggara dan Samudera Hindia yang legendaris tersebut.
Ketika Jepang menginvasi Tiongkok, monumen ini dipindahkan ke Kota Nanping untuk menghindari kerusakan akibat perang.
Setelah perang selesai, prasasti ini dibawa kembali ke Kelenteng Nanshan, dan diletakkan di sebuah taman yang terkoneksi dengan Universitas Normal Changle.
Pada tahun 1961, Pemerintah Fujian menetapkanya sebagai cagar budaya tingkat provinsi. Kemudian dibangun sebuah paviliun untuk melindungi prasasti bersejarah tersebut. Kini, monumen tersebut dipindahkan ke Galeri Sejarah Cheng Ho di Nanshan, kawasan Changle, Kota Fuzhou.
Catatan Perjalanan dan Kesaksian atas Dewi Mazu
Setelah paragraf eksposisi tentang ekspedisinya, prasasti tersebut mendeskripsikan tahun, proses, dan hasil 7 kali misi penjelajahan Cheng Ho secara gamblang. Berikut terjemahannya:
Pada tahun ketiga Yongle (1405), kami memimpin armada kapal ke Negara Guli (terletak di Kozhikode, India) dan negara lain. Pada saat itu, bajak laut Chen Zuyi dan gerombolan pengikutnya bercokol di wilayah Sriwijaya, sering merompak pedagang asing, dan menyerang armada kami. Atas bala bantuan dewa, armada kami menghancurkan mereka. Pada tahun kelima Yongle (1407), armada kami kembali ke Tiongkok.
Pada tahun kelima Yongle (1407), kami memimpin armada ke Jawa, Guli, Cocchin, Siam dan negara lain. Raja-raja setempat mempersembahkan pusaka dan hewan langka sebagai upeti. Pada tahun ketujuh Yongle (1409), armada kembali.
Pada tahun ketujuh Yongle (1409), kami memimpin armada ke negara-negara yang telah kami kunjungi sebelumnya, dan melewati Pegunungan Ceylon. Raja bernama Vira Alakesvara, bersikap angkuh dan licik. Ia juga bersiasat mencelakai kami. Atas perlindungan Permaisuri Surgawi, kami menyadari konspirasinya, sehingga menangkap hidup-hidup raja itu dan dibawa pulang sebagai tawanan pada tahun kesembilan Yongle (1411). Tak lama kemudian, atas pengampunan Kaisar Yongle, raja itu dibiarkan kembali ke negerinya.
Pada tahun kesebelas Yongle (1413), kami memimpin armada ke Ormus dan negara lain. Di Sumatera (Samudera Pasai), terdapat sultan palsu bernama Iskandar, yang mengacaukan negaranya sendiri. Sultan asli, Zainal Abidin, mengirim utusan untuk mengabari kami tentang masalah ini. Jadi kami memimpin pasukan dan berhasil menangkap sultan palsu berkat lindungan kekuatan dewata. Permaisuri Surgawi membantu kami menangkap hidup-hidup sultan palsu itu. Pada tahun ketiga belas Yongle (1415), ia dibawa kembali ke Kekaisaran sebagai tawanan. Pada tahun yang sama, Sultan Malaka memimpin istri dan anaknya datang berkunjung ke Kekaisaram Ming untuk mempersembahkan upeti.
Pada tahun kelima belas Yongle (1417), kami memimpin armada ke wilayah Barat. Di antara mereka, Kerajaan Ormus mempersembahkan singa, macan tutul, dan kuda; Kerajaan Aden mempersembahkan Qiqi – secara lokal dikenal sebagai “zulafa” (jerapah) dan “Ma Ha” bertanduk panjang (oriks Arab); Negara Mogadishu mempersembahkan “Hua Fulu” (zebra) dan singa; negara Brawa mempersembahkan unta dan burung unta yang bisa menempuh jarak ribuan mil; Jawa, Guli dan negara lain mempersembahkan binatang “Miligao” (niglai atau sapi biru). Semuanya adalah satwa langka yang berhabitat di pegunungan dan lautan dalam; harta karun yang terletak jauh di padang pasir, daratan, dan pantai. Mereka semua berlomba untuk mempersembahkannya. Ada juga negara yang mengutus pangeran, paman dan saudara rajanya untuk membawa surat yang terbuat dari kertas emas untuk menghadap Kaisar.
Pada tahun kesembilan belas Yongle (1421), kami memimpin armada membawa semua utusan dari Ormus dan negara lain yang lama tinggal di Ibukota Kekaisaran untuk kembali ke negara masing-masing. Sejak itu, negara-negara ini semakin teguh menjalankan kewajiban dan mempersembahkan upeti.
Pada tahun keenam Xuande (1431), kami juga akan memimpin armada ke mancanegara untuk membaca dekrit Kaisar dan menganugerahkan hadiah. Di pelabuhan ini ( Pelabuhan Taiping ), kami menunggu angin utara untuk berlayar. Mengenang masa lalu, kami berulang kali menerima bantuan dan berkah para dewa, sehingga mendirikan prasasti ini untuk memperingatinya.
Nama Cheng Ho sebagai duta besar, Wang Jinghong, kasim, Li Xing, Zhu Liang, Zhou Man, Hong Bao, Yang Zhen, Zhang Da, dan Wu Zhonghe sebagai wakil dubes serta Zhu Zhen dan Wang Yan sebagai komandan armada tertera sebagai pendiri monumen bersejarah tersebut.
Keimanan terhadap Dewi Mazu
Prasasti Cheng Ho ini selain mengagungkan pencapaian misi ekspedisi terbesar dalam sejarah Dinasti Ming ini, yang mengejawantahkan kebesaran kekaisarannya, juga menyatakan dengan gamblang perlindungan Dewi Mazu terhadap mereka saat menghadapi murka samudera maupun bahaya musuh. Bahkan judul prasasti mengukuhkan kemukjizatan Dewi Suci tersebut.
“Semua ini memang rahmat dan berkah yang dianugerahkan oleh Kekaisaran yang agung. Semua ini juga berkat perlindungan dari Dewi Mazu, Permaisuri Surgawi.”
“Setiap berhadapan dengan angin dan ombak yang angker ketika berlayar di samudera tak bertepi, selalu muncul lentera ajaib yang bersinar tepat di atas kapal. Bahkan di berbagai situasi kritis, kami tetap selamat dan terbebas dari kesulitan. Ketika kami mencapai negara asing dan bertemu dengan penguasa yang tidak bersahabat, kami selalu bisa menangkap hidup-hidup mereka. Bagi perompak asing yang berani menyerang dan menjarah, kami bisa memusnahkan mereka. Sejak itu, rute yang semulanya bahaya menjadi aman dan damai dilayari dan kita menjadi tempat perlindungan para pelaut mancanegara. Semua ini adalah anugerah dari Dewi Mazu.”
Di atas prasasti bernilai historis dan penting tersebut, Armada Cheng Ho mengabadikan keyakinan dan kesaksian terhadap kemukjizatan Dewi Mazu. Pada hakikatnya, hal ini menegaskan kuatnya pengaruh tradisi pemujaan Dewi Mazu yang terpatri dalam sanubari para ekspeditor dan masyarakat umumnya saat itu. Bahkan hingga dewasa ini, Dewi Mazu tetap menjadi magnet pemujaan yang tak lekang di hati.
Penyusun: Ependi Tan