Thursday, July 25, 2024
Budaya

Asal-Usul dan Legenda Festival Cengbeng

InHua.Net – Festival Cengbeng bermula sekitar Dinasti Zhou dengan sejarah lebih dari 2.500 tahun. Pada awalnya, Cengbeng adalah salah satu dari 24 periode musim kalender Tionghoa yang ditentukan berdasarkan posisi ekliptika matahari. Kemudian, periode musim Cengbeng (Qingming) berevolusi menjadi festival ziarah makam bagi masyarakat Tionghoa karena Hari Makanan Dingin (寒食节).

Penulis Ependi Tan.

Ketika periode Cengbeng tiba, suhu  di belahan bumi utara mulai menghangat, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk bercocok tanam di musim semi. Cuaca menjadi jernih dan terang pada hari tersebut, sehingga disebut Cengbeng atau Qingming.

Karena Cengbeng dan Hari Makanan Dingin (Hanshijie 寒食节) berdekatan, secara perlahan kedua festival berlebur menjadi satu. Cengbeng pun mengabdosi tradisi Hanshinjie, antara lain tidak menghidupkan api, tidak ada kegiatan memasak dan hanya mengkonsumsi makanan dingin.

Ada sebuah legenda tentang Festival Makanan Dingin dan Cengbeng yang beredar luas di masyarakat Tionghoa sedunia.

Konon, pada Periode Semi-Gugur, Li Ji, selir Adipati Xian dari Negara Jin, menjebak Putra Mahkota Shen Sheng dengan muslihat jahat agar putranya sendiri yang bernama Xi Qi menggantikannya. Shen Sheng terpaksa bunuh diri. Adik Shen Sheng, Chong’er, melarikan diri ke pengasingan untuk menghindari ancaman dari selir tersebut. 

Selama pengasingannya, Chong’er mengalami pelbagai kesengsaraan.  Sebagian besar pejabat yang mendampinginya pergi satu demi satu. Hanya tersisa beberapa orang yang setia tetap bertahan. Salah satunya adalah Jie Zitui. 

Suatu ketika, Chong’er pingsan karena kelaparan.  Untuk menyelamatkan Chong’er, Jie Zitui mengerat sepotong daging dari kakinya, serta memanggang dan dan memberikannya kepada Chong’er untuk dimakan.

Sembilan belas tahun kemudian, Chong’er kembali ke negerinya dan menjadi penguasa. Dia adalah Adipati Wen dari Negara Jin (Jin Wen Gong), salah satu dari lima penguasa tersohor di Periode Semi-Gugur.

Setelah Adipati Wen berkuasa, dia memberikan imbalan besar kepada para menteri yang setia, tetapi Jie Zitui menolak menerima tanda jasa yang diberikan kepadanya. Dia beralasan bahwa adipatinya berhasil  naik tahta karena diberkati Sang Pengcipta, bukan jasa manusia.   

Walaupun demikian, Adipati Wen tetap mengutus bawahannya untuk mengundang Jie Zitui menghadap dan menerima pengangkatan sebagai pejabat. Namun, Jie tetap tak bergeming.

Adipati Wen tidak punya pilihan selain mendatangi dan mengundangnya sendiri. Namun, ketika sang adipati tiba di kediaman Jie Zitui, pintu rumahnya tertutup rapat. Jie Zitui tidak bersedia menemui sang adipati.

Konon, dia sudah bersembunyi di Gunung Mian (sekarang tenggara Kabupaten Jiexiu, Shanxi) bersama ibundanya.  Adipati Wen meminta pasukan pengawal kekaisarannya untuk menyisir gunung, tetapi mereka tak berhasil menemukan Jie Zitui. 

Kemudian, seseorang memberi ide kepada sang adipati untuk membakar gunung dari tiga sisi dan meninggalkan satu sisi terbebas dari lahapan sang jago merah. Menurutnya, Jie Zitui akan keluar sendiri dari hutan gunung ketika kebakaran terjadi.  Adipati Wen pun setuju untuk membakar gunung, api pun berkobar selama tiga hari tiga malam. Jie Zitui masih belum tampak keluar dari hutan gunung itu.

Setelah api padam, rombongan sang adipati kembali naik gunung. Mereka pada akhirnya menemukan Jie Zitui dan ibundanya sudah meninggal di bawah pohon dedalu (willows/柳树) yang hangus terbakar.  Adipati Wen bersedih dan menangisi kematian sang bawahan yang setia.

Kemudian Jie Zitui dan ibundanya dimakamkan di bawah pohon yang hangus itu.  Untuk mengenang Jie Zitui, Adipati Wen memutuskan mengubah nama Gunung Mian menjadi Gunung Jie (Jieshan), membangun kuil di gunung, dan menetapkan hari kejadian tersebut sebagai Festival Makanan Dingin. Keputusan sang adipati diumumkan ke seluruh negeri. Setiap tahun pada hari tersebut, dilarang menyalakan api dapur dan hanya makan makanan dingin.

Pada tahun kedua, Adipati Wen memimpin para menterinya dan berjalan setapak naik ke gunung itu, untuk memberi penghormatan di makam Jie Zitui. Sesampai di tempat makam tersebut, sang adipaiti melihat pohon dedalu yang hangus tadinya ternyata tumbuh rindang kembali. Daun dedalu itu melambai-lambai diterpa angin sepoi-sepoi.

Adipati Wen melihat pohon tersebut yang hidup kembali, seolah-olah dia melihat langsung Jie Zitui berdiri di hadapannya. Dia berjalan ke arahnya dengan hormat, mengambil sejumlah ranting pohon tersebut dengan hati-hati. Kemudia sang adipati membentuk ranting tersebut seperti tiara dan memakainya.   Setelah penghormatan makam selesai, Adipati Wen menamai pohon dedalu tua itu Dedalu Cengbeng (清明柳) untuk memperingati karakter jujur, jernih, dan bersih Jie Zitui. Sang adipati juga menetapkan hari tersebut sebagai Festival Cengbeng.

Setelah itu, Adipati Wen memegang jiwa kesatria dan jujur sebagai moto untuk memacunya dalam memerintah. Dia rajin dalam pemerintahan dan berpikiran jernih, bekerja keras untuk memerintah, dan mengelola negara dengan baik.

Sejak itu, rakyat Negara Jin dapat hidup dan bermatapengcaharian dengan damai dan tenteram. Keluhuran kepribadian Jie Zitui juga dipuji dan dikenang oleh rakyatnya.  Pada hari kematiannya, masyarakat pantang menyalakan api. 

Sejak itu, Hanshi dan Cengbeng telah menjadi festival besar bagi rakyat di negara itu. 

Catatan pinggir: Pada Dinasti Zhou di Tiongkok Kuno, kekaisaran tersebut terdiri atas banyak kerajaan atau negara yang diperintah para adipati, pangeran, dan bangsawan lainnya. Periode Semi-Gugur adalah salah satu sub-periode dari Kekaisaran Zhou.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *