Thursday, July 25, 2024
Budaya

Dewa Cinta Yuelao & Konsep Perjodohan Masyarakat Tionghoa

InHua.Net – Sejak dahulu, masyarakat Tionghoa mengenal Yuelao adalah dewa cinta alias comblang jodoh.

Tetapi tahukah Anda, sebelum Yuelao, adalah Nǚwā dipercayai sebagai dewi penentu jodoh ini, karena ia yang memegang kendali atas penciptaan pasangan manusia untuk bersatu.

Konon, saban tahun di pertengahan musim semi di zaman kuno, penguasa tak jarang melakukan upacara persembahan kepada Dewi Nǚwā dengan sesajian yang mewah, untuk mendoakan pertumbuhan demografi.

Sesampai di Dinasti Tang, Yue Lao muncul sebagai pengganti Nǚwā mengambil ahli imamah urusan asmara insan manusia tersebut.

Cara Yuelao berbeda dengan Dewa Cinta Cupid dari mitologi barat dalam membuat anak manusia jatuh cinta. Yuelao akan mengikatkan benang merah pada kaki kedua insan yang berjodoh. Jika sudah diikat, maka terwujudlah istilah “kalau jodoh tak akan lari ke mana”.

Legenda Yuelao

Alkisah, pada masa Dinasti Tang, pemuda bernama Wei Gu mengunjungi Kota Songcheng dan bermalam di Penginapan Nandian.

Kemudian pada malam harinya, Wei Gu bertemu seorang lelaki tua yang duduk di bawah sinar bulan, sedang menyandar pada ransel kain besar di punggung dan membaca buku.

Wei Gu seorang sarjana, dan menghampiri orang tua itu untuk mengintip buku di tangannya. Tetapi dia kaget, karena tak mengenal satu huruf yang tercetak di ata buku tersebut.

“Ini buku langit tentang jodoh lelaki dan perempuan di dunia, wajar saja kamu tak bisa membacanya,” jawab orang tua itu atas penasaran Wei Gu.

Dalam keraguan, Wei Gu bertanya lagi apa yang ada di ransel lelaki tua itu? “Ini adalah benang merah, untuk mengikat kaki sepasang kekasih. Setelah diikat, mereka ditakdirkan hidup bersatu, apapun kondisinya.”

Sebagai lajang, Wei Gu tentu penasaran dan bertanya tentang jodohnya. “Anak perempuan yang diasuh nenek penjual sayur di bagian utara kota itu jodohmu. Sekarang umurnya baru 3 tahun. Ia akan menikah denganmu pada usia 16 tahun,” sahut lelaki tua itu.

Esoknya, lelaki tua itu membawanya ke pasar sayur dan melihat seorang wanita yang buta sebelah matanya berjalan terhuyung-huyung dengan membopong seorang gadis kecil.  Lelaki tua itu  menunjuk gadis kecil itu dan berkata, “Dialah calon istrimu.”

Wei Gu bereaksi dengan marah, “Saya orang yang terpelajar, bagaimana bisa menikahi anak seorang wanita desa tua?”

Orang tua itu tertawa dan berjalan pergi: “Sudah diikat dengan benang merah, takkan bisa ditolak.”

Wei Gu tidak percaya. Dalam amarahnya, ia menyuruh pelayannya untuk menghabisi nyawa gadis kecil itu. Namun, karena ketakutan, pelayan hanya melukai kening gadis kecil itu sebelum melarikan diri.

Belasan tahun berlalu, Wei Gu tetap melajang meskipun tak sedikit dijodohkan dengan gadis-gadis lain. Ia menjabat sebagai staf perwira militer di bawah Wang Tai, di Xiangzhou. 

Wang Tai sangat puas dengan kinerja Wei Gu dan menjodohkannya dengan putri angkatnya yang berusia 16 tahun. Ia seorang gadis berparas cantik dan berbudi baik. Mereka akhirnya menikah dan hidup rukun.

Istrinya selalu menempel bunga kertas di antara alisnya, dan tidak pernah melepasnya. Wei Gu yang penasaran akhirnya bertanya tentang hal itu. Ternyata, istrinya pernah ditikam penjahat ketika dia masih kecil. Kertas bunga itu untuk menutupi bekas lukanya.

Usut punya usut, ternyata orang tua istrinya meninggal saat dia masih bayi. Bayi itu hidup miskin dengan pengasuhnya, Nenek Chen, yang menjual sayuran untuk mencari nafkah. Belakangan, Nenek Chen mengetahui pamannya, Wang Tai, telah menjadi pejabat. Gadis itupun dibawa ke Wang Tai untuk diadopsi. 

Wei Gu terkejut bukan kepalang dan teringat ucapan lelaki tua kala itu, jodohnya sudah diikat dengan benang merah. Sejak itu, Wei Gu selalu mengisahkan pengalamannya dengan lelaki tua dan istrinya itu, di manapun ia berada.

Kisah ini kemudian dikompilasi oleh novelis Li Fuyan dalam karya tulisnya. Sejak itu, kisah lelaki tua di bawah bulan atau Yue Dia Lao Ren (disingkat Yuelao) sebagai dewa cinta, terus diceritakan dari generasi ke generasi, tak lengkang oleh waktu hingga sekarang.

Konsep Perjodohan Orang Tionghoa

Kepercayaan tentang Yuelao, yang mengikat tali merah untuk menjodohkan sepasang insan manusia, mencerminkan konsep jodoh yang ditakdirkan yang dipercayai orang Tionghoa.

Konsep ini juga mengambarkan falsafah hidup masyarakat. Bahkan di era moderen, sebagian masyarakat garis hidup manusia sudah ditakdirkan dan tidak bisa diubah. Pandangan hidup ini tentu juga terejawantahkan dalam aspek pernikahan dan cinta. Kemunculan Yuelao justru menvisualisasi konsep takdir cinta tersebut dalam keindahan legenda.

Disusun: Ependi Tan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *