Tuesday, December 10, 2024
Budaya

Kelenteng Hoo Ann Kiong Selatpanjang Berusia Lebih Seabad

Awal Berdirinya Kota Selatpanjang

Kota Selatpanjang pernah menjadi bandar pelayaran dan perniagaan yang sibuk di jalur perlintasan Selat Malaka, terutama pada zaman Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sehingga kota kecil ini menjadi magnet yang menarik banyak warga Tionghoa untuk berduyun-duyun datang dan menetap di Ibukota kabupaten termuda Provinsi Riau ini.

Dewasa ini, sejarah resmi tentang pendirian kota ini jarang terekspos secara sistematis. Namun, ada legenda yang mengisahkan perjuangan para pendahulu merintis peradaban di Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Meranti itu, yang diyakini sebagai awal berdirinya tanah yang dijuluki Kota Sagu tersebut.

Konon, waktu pendirian bandar ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1805, ketika Sri Sultan Siak VII memerintahkan Panglima Besar Muda Tengku Bagus Saiyid Thoha untuk membangun basis pertahanan di Pulau Tebing Tinggi, guna mengantisipasi ancaman dari persekutuan Kesultanan Sambas dan tentara kolonial Belanda. Terpilihlah daerah Selatpanjang sebagai wilayah kekuasaan yang cocok untuk tujuan pertahanan militer tersebut di atas.

Kelenteng Tua di Tengah Bandar 

Tidak banyak sumber yang bisa ditemukan untuk memverifikasi waktu para pendahulu Tionghoa pindah ke Kota Selatpanjang. Hanya ada serpihan-serpihan cerita yang diturunkan dari mulut ke mulut. Generasi tua di kota itu juga tak dapat menjelaskan secara tuntas tentang histori awal kedatangan orang Tionghoa. Apalagi generasi mudanya, hampir awam dengan sejarah komunitasnya sendiri.

Meskipun demikian, di tengah kota ini masih dapat ditemukan jejak historis peninggalan kaum Tionghoa. Hoo Ann Kiong, kelenteng tersohor berusia lebih seabad yang berdiri di tengah bandar, adalah saksi sejarah perintisan para pendahulu untuk memajukan negeri tersebut.

Hoo Ann Kiong biasanya disebut Tua Pekkong Keng oleh masyarakat setempat. Tidak diketahui secara presisi tanggal pendirian kelenteng ini. Tak ada catatan tertulis atau bukti valid lain tentang hal itu. Namun, para sejarawan sepakat bahwa Hoo Ann Kiong dibangun pada pertengahan abad ke-19 atau pada tahun 1860-an, sekitar 160 tahun dari sekarang.

Meskipun tanggal pendirian tidak diketahui, tetapi ada sebuah prasasti yang mencatat proyek pemugaran pertama tempat ibadah masyarakat Tionghoa itu. Pihak pengelola pernah meminta sejumlah pakar untuk memperbaharui dan meneliti prasasti tersebut. Dari prasasti yang berisi nama para donatur tersebut, bisa dipastikan Hoo Ann Kiong selesai direhab pada masa Kaisar Guangxu (光绪) tahun bulan Gui Mao (癸卯), atau tanggal 8 bulan 6 tahun 1903 dalam kalender Tionghoa.

Jika dikonversi ke kalender masehi, proyek renovasi pertama itu selesai pada 31 Juli 1903. Tepatnya 119 tahun silam. Oleh karena itu, diyakini bahwa Hoo Ann Kiong adalah kelenteng tertua di Kota Selatpanjang, atau bahkan di Provinsi Riau.

Hoo Ann Kiong atau sekarang dinamai Vihara Sejahtera Sakti terletak di Jalan Ahmad Yani, Kota Selatpanjang, Kabupaten Meranti. Konon, dulunya jalan ini dikenal sebagai Jalan Melayu. Pada tahun 1850-an, para pedagang mencari kayu di Tebingtinggi dan mengirimkannya ke Singapura, yang menyebabkan migrasi masyarakat Tionghoa ke Selatpanjang dan membentuk pemukiman. Jalan Melayu itu adalah titik central pemukiman orang Tionghoa pada masa awalnya.

Hoo Ann Kiong yang dibangun di jalan ini sebenarnya sudah diakui secara luas sebagai bangunan ikonis Selatpanjang, dan terdaftar sebagai cagar budaya Kabupaten Kepulauan Meranti.

Dewa pemujaan utama Hoo Ann Kiong adalah Tua Pekkong atau Fude Zhengshen. Qingshui Zushi dan Mazu adalah dewa pendamping. Walaupun demikian, Qingshui Zushi atau Cou Se Kong mempunyai kedudukan dan pengaruh yang lebih dominan daripada dewata lainnya. Mengapa demikian?

Setiap tahun pada hari keenam Tahun Baru Imlek, masyarakat Tionghoa akan mengadakan parade tiga mikoshi, dengan patung Qingshui Zushi sebagai pemujaan utama, serta Zhongtan Yuanshuai dan Tiandu Yuanshuai sebagai pengawal, berpawai keliling kota, untuk menerima pemujaan dari ribuan umat di sepanjang jalan. Pawai tersebut merayakan hari kelahiran Qingshui Zushi yang jatuh pada hari keenam Tahun Baru Imlek itu.

Perayaan HUT Qingshui Zushi yang semarak itu juga menjadi puncak sekaligus penutup perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang. Yang menarik, kegiatan pawai tersebut telah dipandang sebagai sarana pemersatu budaya yang heterogen di kota itu. Tidak hanya etnis Tionghoa yang ikut memeriahkannya, warga etnis lain juga selalu ikut serta dalam parade  dan menampilkan berbagai pertunjukan budaya tradisional masing-masing.

Setelah pawai, berakhirlah serangkaian perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang, termasuk Festival Perang Air atau Ciancui yang sudah kesohor ke mancanegara.

Gerbang dengan Konstruksi Tanggam Tanpa Paku

Hoo Ann Kiong selanjutnya pernah dipugar kembali pada 1941 dan 2005, tetapi gerbang utamanya masih mempertahankan konstruksinya sejak pertama kali direnovasi pada 1903.  Justru karena gerbang ini mempertahankan bangunan aslinya, Hoo Ann Kiong, yang terletak di pesisir pulau yang tidak mencolok di Nusantara, justru menjadi saksi bisu kemahiran dan kelihaian para pengrajin zaman dulu.

Gerbang ini dibangun dengan teknik tanggam. Tak ada paku atau baut digunakan untuk arsitektur indah gerbang Hoo Ann Kiong tersebut. Konstruksi Hoo Ann Kiong mengadobsi gaya bangunan Tiongkok Bagian Selatan, dengan tata ruang persegi empat yang membentuk ruang terbuka di tengah.

Aula utamanya telah dipugar seluruhnya dan diperluas pada tahun 2005. Namun, gerbangnya sama sekali tidak diubah strukturnya, hanya menambah dinding batu di kedua sisi gerbang dan mengganti genteng. Arsitektur tanggamnya masih utuh terpelihara.

Terdapat sejumlah ukiran dewa di ring balok, di mana tampak Delapan Dewa atau Baxian dalam berbagai gaya, seolah-olah sedang menggambarkan suasana kayangan hadir di gerbang tersebut. Tak berlebihan jika bangunan ini disebut bernilai seni dan budaya yang tinggi.

Ada juga sepasang lentera kayu yang tergantung di kedua sisi bagian atas gerbang, dan figur-figur mitologis terukir di atasnya.  Terdapat empat balok kayu penyanggah di empat sudut gerbang, yang notabene juga berusia 100 tahub lebih. Kemudian sepasang patung makhluk suci Qilin yang berusia ratusan tahun masih duduk di kedua sisi gerbang, menyaksikan lalu lalang para umat dari generasi ke generasi

Tak mudah untuk melestarikan bangunan kayu lengkap dengan ornamen ukiran yang sudah berusia lebih seabad. Apalagi, Kota Selatpanjang terletak di sebuah pulau kecil di pantai barat Sumatera, yang tidak mencolok dan jarang terdengar oleh masyarakat Nusantara.  Namun, di negeri kecil inilah, hasil keterampilan pengrajin Tionghoa kuno masih dilestarikan hingga hari ini. Hal ini memang pantas diapresiasi oleh generasi sekarang.

Ditulis oleh Ependi Tan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *