Thursday, July 25, 2024
Aktiviti

LEMPABUDTI YIHLP Giat Mendata Cagar Budaya

InHua.Net – Ketua Pembina Lembaga Pelestarian Budaya Tionghoa Yayasan Istana Harta Lima Penjuru (LEMPABUDTI YIHLP) Ade Chandra, SH.MM bersama Penggiat Budaya Kemendikbud Ristek Wilayah Kerja Deli Serdang menyempatkan diri berkunjung ke Kelenteng Leng Im Bio, Jumat, 12 Agustus 2022.

Mereka bertemu dengan tokoh budaya Tionghoa sekaligus praktisi spritual Sutrisyono alias A Seng, yang telah menjalani pelayanan selama 45 tahun.

Sutrisyono menyambut dengan gembira seraya menjelaskan Kelenteng Leng Im Bio Desa Jati Baru Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang didirikan tahun 1967.

Fungsi Kelenteng sebagai Pusat Kegiatan Spiritual Etnis Tionghoa

Kelenteng ini melayani komunitas etnis Tionghoa di desa tersebut serta Kota Medan dan daerah lainnya.

Letak kelenteng ini cukup unik karena berdampingan dengan Vihara Budha, persis di belakang bangunan Kelenteng.

Biasanya Kelenteng ini ramai dikunjungi setiap tanggal 1 dan 15 di bulan kalender lunar.

Seorang umat sedang memanjatkan doa untuk meminta perlindungan dan kesehatan di hadapan para dewa Sang Ceng Co su aliran Taoisme.

Sembahyang Leluhur di Bulan Hantu

Bulan ini kebetulan bertepatan Bulan Festival Hungry Ghost atau Hantu Lapar, sehingga banyak etnis Tionghoa melakukan kegiatan ritual sembahyang leluhur di alam baka. Pada hari biasanya, Kelenteng tutup dan hanya ditunggui penjaga Kelenteng.

Kelenteng menjadi tempat ibadah bagi komunitas Tionghoa, juga tempat dianggap sakral. Oleh karena itu, Aseng khawatir jika tidak dirawat dengan baik, kelenteng akan rusak, baik fisik bangunan dan aspek lainnya. Sehingga kelak anak cucu dan generasi penerus akan kehilangan jati dirinya.

Pria ini menyatakan senang mendapat kunjungan Lempabudti YIHLP dan Penggiat Budaya Kemendikbudristek.

Keberagaman Kepercayaan Etnis Tionghoa

Sementara itu, Ade Chandra mengatakan kepercayaan etnis Tionghoa cukup beragam dalam pemahaman nilai-nilai kebudayaan bagi komunitas itu sendiri.

Sehingga fenomena ininmenarik untuk dikaji dan ditelaah dalam bingkai keanekaragaman budaya di Indonesia.

Masyarakat desa tersebut plural, karena telah mengalami asimilasi dengan perkawinan antar etnis Tionghoa dengan etnis Karo, Melayu, Simalungun, Toba, Jawa dan etnis lainnya.

Hal ini memunculkan akulturasi dan menjadi catatan menarik untuk diteliti lebih lanjut oleh ahli ahli Cagar Budaya maupun Pelestari Kebudayaan.

Kelenteng sebagai Objek Dugaan Cagar Budaya

Kelenteng ini, menurutnya, patut dikategorikan sebagai Objek Dugaan Cagar Budaya (ODCB) karena mengandung nilai historis sebagai pusat kebudayaan komunitas Thionghoa.

Pihaknya menilai perlu tindakan cepat untuk mensosiliasi kepada semua lapisan masyarakat, terutama  kepada pemilik bangunan komunitas Tionghoa.  

Untuj ini, YIHLP telah menjalin kerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh Kemendikbud Ristek dengan penggiat budaya.

Konsistensi YIHLP dalam Mendata Bangunan Budaya Tionghoa Indonesia

Pada kesempatan itu,  Ade meminta Windra pemangku kepentingan agar dapat segera meninjau apakah bangunan kelenteng tersebut layak sebagai objek dugaan cagar budaya dari segi umur dan bentuk fisik bangunan.

Ia juga menyatakan, pihaknya akan melakukan upaya pelestarian budaya tersebut secara berkesinambungan.

Pada bulan yang lalu, pihaknya juga sudah meninjau objek dugaan cagar budaya  bangunan komunitas Tionghoa lain bersama Penggiat Budaya dan Disporabudpar Kabupaten Serdang Berdagai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *