Thursday, July 25, 2024
Budaya

Tiga Dongeng Mitologis Festival Kue Bulan

Oleh: Ependi Tan

InHua.Net – Setiap perayaan festival selalu diperindah dengan kisah-kisah atau dongeng-dongeng rakyat sebagai unsur romantika untuk menggugah perasaan.

Begitu juga dengan Festival Tiongchiu, ada sejumlah dongeng yang sangat populer dan memang cukup menarik untuk disimak.

Chang’e Melayang Ke Bulan

Di antaranya, kisah Chang’e Melayang ke Bulan 嫦娥奔月adalah dongeng rakyat yang paling populer. Cerita ini adalah romantika tentang Cinta Antara Seorang perempuan Cantik dan seorang Pahlawan, Yaitu Hou Yi (后羿) seorang pahlawan dan pemanah ulung. Sementara Chang’e (嫦娥) adalah istrinya.

Alkisah pada jaman dahulu, muncul 10 matahari di langit, hampir menghanguskan semua kehidupan yang ada di bumi. Sepanjang hari hanya ada siang tanpa malam. Manusia pun hidup menderita.

Karena itu, Hou Yi bertekad untuk mengatasi penderitaan rakyat saat itu, dia bawa busur dan anak panahnya naik ke gunung Kun Lun, dan berhasil memanah jatuh 9 matahari. Perputaran Siang malam kembali normal, semua kehidupan berjalan lagi dengan ritme yang wajar, tentunya manusia di bumi pun selamat. Houyi menjadi pahlawan yang dielu-elukan.

Atas jasanya, Houyi mendapatkan suatu obat ramuan dari Dewi Ratu Barat atau 西王, yang konon siapapun meminumnya bisa mendapatkan kehidupan yang abadi. Sayangnya, ramuan ini hanya cukup untuk satu orang. Meskipun Hou Yi menginginkan dapat hidup abadi, tetapi ia ingin hidup bersama bersama istrinya, Chang’e, di bumi selamanya. Chang’e adalah seorang perempuan jelita dengan sifat yang dermawan.

Oleh karena itu, Hou Yi tidak  minum ramuan tersebut dan menyerahkannya kepada Chang’e untuk menjagakan dan menyimpannya.

Karena nama Houyi semakin terkenal pada masa itu, banyak orang berduyun-duyun datang untuk berguru kepadanya dan hampir semuanya diterima dengan baik oleh Hou Yi.

Salah seorang muridnya bernama Feng Meng (逢蒙), dia mengetahui rahasia ramuan obat panjang umur itu dan berniat merampas ramuannya.

Suatu saat ketika Hou Yi pergi berburu bersama dengan para muridnya, Feng Meng  berpura-pura sakit dan tetap tinggal di rumah. Setelah memastikan Hou Yi sudah berangkat, dia mendatangi rumah Hou Yi dan memaksa Chang’e untuk menyerahkan botol ramuan tersebut.

Chang’e tahu dia tidak dapat mengalahkan Feng Meng. Agar ramuan tersebut tidak jatuh ke tangan Feng Meng, Chang’e pun segera meminumnya. Ramuan itu membuat Chang’e melayang tinggi ke langit dan akhirnya terhenti di bulan. Chang’e pun hidup abadi di sana.

Hou Yi sangat sedih ketika menerima kabar ini. Dia terus mengejar rembulan di malam hari, walaupun sia-sia saja usahanya.

Masyarakat yang pernah dibantu Chang’e juga bersama-sama menyiapkan meja dan menyajikan beberapa hidangan kesukaan Chang’e, sebagai doa kepadanya. Konon, Sejak saat itulah, muncul perayaan Festival Tiongchiu.

Tetapi, ini hanya versi dongeng yang disisipkan ke Festival Tiongchiu, asal usul perayaan ini tentu bukan dari dongeng Chang’e ini, karena selain ini versi cerita ini, masih ada beberapa versi lain tentang Chang’e. Jadi bisa dipastikan, dongeng rakyat ini adalah hasil imajinasi untuk memperkaya perayaan festival Tiongchiu ini.

Namun karena popularitas dongeng ini, Chang’e sudah menjadi Dewi bulan yang dipuja secara turun temurun. Bahkan serangkaian wahana misi antariksa China ke bulan juga diberi dengan nama Chang’e.

Wu Gang Menbang Pohon Osmanthus (Gui Hua)

Saat bulan purnama bercahaya di malam yang cerah, terlihat ada bayangan di bulan. Walaupun sudah terbukti secara ilmiah bahwa bayangan yang tampak di bulan sebenarnya adalah terbentuknya gunung-gunung yang dihasilkan oleh meteor, tetapi ada dongeng dalam tradisi Tionghoa yang mengatakan bahwa bayangan itu adalah sebatang pohon besar di bulan.

Wu Gang (吴剛) adalah manusia biasa yang menginginkan kehidupan yang abadi, tapi tidak pernah mau mencoba yang terbaik dan berusaha keras.

Kaisar Langit pun naik pitam karena kelakuannya. Sebagai hukuman, Kaisar Surga menanam sebatang pohon osmanthus (Gui Hua) yang besar di bulan, dengan ketinggian mencapai 1,665 meter (5,460 kaki).

Kemudian memerintahkan Wu Gang untuk menebangnya. Apabila Wu Gang berhasil menebang jatuh pohon tersebut, maka kehidupan abadi dapat diperolehnya.

Kali ini Wu Gang menanggapinya dengan serius dan benar-benar berusaha keras menebang jatuh pohon itu. Tetapi dia tidak pernah dapat menyelesaikan hukumannya, karena pohon osmanthus itu selalu kembali tumbuh setiap kali Wu Gang menebangnya.

Wu Gang pantang menyerah. Dari waktu ke waktu dia selalu mencoba lagi dan lagi, dan masih tetap mencoba hingga sekarang. Di malam yang cerah tampak jelas bayangan di bulan. Itulah bayangan pohon osmanthus.

Dalam versi lain, seorang pria yang bernama Wu Gang ingin diajari cara memperoleh kehidupan kekal. Dia akhirnya menemukan seorang guru di pegunungan. Saat gurunya mencoba mengajarinya ilmu2 penyembuhan, Wu menyerah setelah tiga hari.

Ketika Wu diajari bermain catur Weiqi, dia menyerah untuk mempelajarinya setelah dua hari. Ketika Wu menerima pelajaran tentang metode kehidupan kekal, dia kehilangan minat hanya dalam satu hari. Akhirnya Guru Wu Gang mengirimnya ke bulan untuk menebang pohon dari spesies yang tidak disebutkan namanya.

Kelinci Giok – Imbalan dari Pengorbanan Diri

Masih berkaitan dengan Festival Musim Gugur, kelinci giok (玉兔; Yùtù) juga merupakan figur dalam fabel atau dongeng rakyat yang telah tersebar secara luas. Orang2 Tionghoa tempo dulu meyakini bahwa kelinci giok itu adalah pendamping Chang’e di bulan, dan membantunya menumbuk adonan ramuan obat.

Cerita rakyat ini pun tersebar ke berbagai negara Asia, termasuk Jepang dan Korea, tapi dalam versi mereka kelinci ini menumbuk adonan kue beras.

Pada tanggal 14 Desember 2013, sebuah kendaraan penjelajah bulan asal Tiongkok yang dinamakan Yutu (rover) mendarat di bulan, yang merupakan bagian dari misi Chang’e 3.

Begini kisahnya. Tersebutlah tiga ekor binatang yang hidup  berdampingan di hutan, yaitu si rubah, kelinci dan kera.

Pada suatu hari, Kaisar Langit bermaksud menguji kebajikan dari ketiga binatang tersebut. Turunlah Kaisar ke bumi dengan mengubah penampilannya menjadi seorang lelaki tua.

Kaisar berkata “Saya dengar kalian bertiga bersahabat baik, maka saya pun datang untuk menemui kalian. Saya sangat lapar. Apa yang dapat kalian berikan?”

“Tunggulah di sini. Kami akan segera kembali dengan membawa makanan.” Kemudian ketiganya pun pergi memisahkan diri untuk mencari makanan.

Rubah berhasil menangkap seekor ikan di sungai; kera berhasil memetik buah dari hutan; tetapi kelinci tidak mendapatkan apa-apa dan kembali dengan tangan kosong.

Lelaki tua berkata “Sepertinya kalian tidak bersatu dan bekerja sendiri-sendiri. Kalian berdua menepati janji dan kembali ke sini membawakan makanan. Tetapi kelinci tidak membawa apa-apa.”

Kelinci merasa sangat sedih. “Tolong bantu saya mendapatkan sedikit kayu bakar. Saya akan memasak untuknya,” demikian kata kelinci kepada rubah dan kera.

Setelah mereka membuat api dari kayu bakar, kelinci berkata “Maafkan, saya tidak dapat memenuhi janji. Tetapi saya dapat menyerahkan diri saya. Makanlah saya” dan kelinci pun melompat ke dalam kobaran api.

Kaisar Surga merasa sangat terharu. Ia memungut tulang si kelinci dan berkata, “Saya sangat tersentuh. Untuk menghargai pengorbanannya, saya akan membebaskannya pergi ke Istana Bulan, agar setiap orang selalu bisa melihatnya untuk selama-lamanya.”

Begitulah kisah Kelinci Giok ini menyebar luas dan menjadi populer. Dongeng ini berawal dari imajinasi masyarakat kuno, dimana ada bagian dari bayangan di permukaan bulan tampak mirip seekor kelinci. Sehingga muncul kisah romantika tentang kelinci giok yang disisipkan pada perayaan Festival Tiongchiu yang berkaitan dengan sang rembulan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *